10.28.2008

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : AQAD NIKAH




Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman.

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.”

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.”

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.”

Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:
"Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.”

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya...”

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”

• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.”

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya).

“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.”

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’”

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya.

Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]

"Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa' : 1]

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : WALIMAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Walimah
Walimatul 'urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing”

• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”

• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa”

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!”

• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha' bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:

Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:
“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka”

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.”

Atau dengan lafazh:

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.”

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.
Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:.

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,

“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang me-nyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian
Hormatilah kami, maka kami hormati kalian
Seandainya bukan karena emas merah
Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona
Seandainya bukan gandum berwarna coklat
Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.”

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : KHITBAH (PEMINANGAN)



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2]

Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3]

Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”

Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam. [4]

Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang
Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah kami sebutkan- maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5]

Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih.

Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.
Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” [6]

Shalat Istikharah
Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur'an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘...di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” [8]

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’ Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. [9] Lalu turunlah ayat Al-Qur'an [10] dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” [11]

Imam an-Nasa’i rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang).”

Fawaaid (Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:
1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.
2. Do’a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat malam.
3. Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.
4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.
5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya. [12]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

www.almanhaj.or.id
_____

Fatimatuzzahra Azka Ghulwani

Fatimatuzzahra Azka Ghulwani
iiih anak ummi.... lucunya....